JAKARTA, denai.id - Pemerintah terus berupaya menjaga keberlanjutan produksi industri dalam negeri di tengah kebijakan pengendalian pemakaian gas. Ditunjukkan dnegan kunjungan kerja Kementerian Perindustrian (kemenperin) ke PT Sumi Asih, salah satu perusahaan intermediate industry di sektor oleokimia, untuk mendengarkan langsung kondisi lapangan terkait pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Dalam pertemuan tersebut, manajemen PT Sumi Asih
menyampaikan bahwa pembatasan pasokan gas bumi yang diberlakukan sejak 13
Agustus 2025 telah menekan kapasitas produksi.
Berdasarkan Surat PGN No. 476100.S/PP.03/RD1BKS/2025,
pasokan gas hanya diperbolehkan maksimal 48 persen dari kontrak bulanan pada
periode 13–19 Agustus, kemudian 65 persen pada 20–22 dan 25–29 Agustus, serta
70 persen pada 23–24 dan 30–31 Agustus. Apabila perusahaan menggunakan gas
melebihi kuota, dikenakan penalti hingga 120 persen dari harga LNG.
Keterbatasan pasokan membuat PT Sumi Asih menanggung risiko
operasional tinggi. Sebagai eksportir yang telah mengikat kontrak dengan mitra
di Tiongkok dan Eropa, perusahaan tetap memilih berproduksi meskipun harus
membayar penalti tambahan.
Sehari-harinya, Sumi Asih membutuhkan sekitar 1.500 MMBTU
gas untuk bisa beroperasi normal. Namun karena pembatasan, jika turun di bawah
kebutuhan minimal 1.085 MMBTU per hari, seluruh fasilitas produksi terpaksa
dihentikan dan seluruh lini terancam berhenti total.
Menanggapi kondisi tersebut, Juru Bicara Kemenperin Febri
Hendri Antoni Arif menyatakan bahwa pemerintah tidak hanya melihat masalah pada
sisi teknis pasokan, melainkan juga ketidaksesuaian pola distribusi.
“Kami mempertanyakan mengapa pasokan gas pada harga di atas
USD 15 per MMBTU justru tersedia dengan stabil, sementara pasokan gas HGBT di
kisaran 6 USD tidak stabil dan terbatas. Artinya, pasokan sebenarnya ada, hanya
tidak diberikan pada harga yang sudah ditetapkan pemerintah,” kata Febri Hendri
Antoni Arief saat mengunjungi PT Sumi Asih di Bekasi, Jumat (22/8).
Kemenperin menekankan bahwa gas bumi merupakan faktor
strategis dalam rantai produksi oleokimia, tidak hanya sebagai energi tetapi
juga bahan baku penting, misalnya untuk pasokan hidrogen di unit Hydrogenation
Plant. Ketidakstabilan pasokan dapat menurunkan utilisasi produksi, melemahkan
daya saing ekspor, serta berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Febri mengingatkan bahwa karakter industri berbeda dengan
sektor lain yang bisa segera mengurangi atau menghentikan aktivitas. “Industri
itu ibarat kapal tanker, tidak bisa berbelok tiba-tiba. Jika pasokan gas
dipangkas mendadak, risiko yang muncul bukan hanya turunnya utilisasi dan
hilangnya kontrak ekspor, tetapi juga potensi kerusakan mesin serta hilangnya
kesempatan produksi yang nilainya besar,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa keberadaan HGBT terbukti
memberikan manfaat nyata bagi penerimaan negara. “Industri oleokimia penerima
HGBT mencatatkan kenaikan setoran pajak hingga enam kali lipat setelah
mendapatkan pasokan gas sesuai kebijakan. Namun ketika pasokan kembali
dibatasi, setoran pajak itu turun kembali ke level sebelum mereka menerima
HGBT. Ini bukti nyata bahwa keberlangsungan HGBT tidak hanya menyelamatkan
industri, tapi juga meningkatkan kontribusi fiskal bagi negara,” ungkapnya.
Karena itu, Febri meminta produsen gas memberikan kepastian
hukum bagi industri. “Kami meminta agar deklarasi gangguan pasokan gas segera
dicabut, karena dokumen tersebut menjadi dasar bagi perusahaan untuk
berproduksi dengan kepastian. Tanpa kepastian ini, industri sulit menyusun
perencanaan dan menjaga kesinambungan investasinya,” tegasnya.
Melalui kunjungan ini, Kemenperin menegaskan komitmennya
untuk mencari solusi bersama pemangku kepentingan terkait agar industri tetap
dapat beroperasi. Stabilitas pasokan energi akan menjadi faktor penting dalam
menjaga keberlanjutan investasi manufaktur, melindungi tenaga kerja, serta
mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional. (nad)
Tulis Komentar