WASHINGTON DC, denai.id – “Tahun baru ini akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan.” Pernyataan itu dilontarkan oleh Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam program berita CBS Sunday. Hal itu terkait mesin utama pertumbuhan global yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa (UE) dan Tiongkok semuanya mengalami perlambatan ekonomi.
“Kami memperkirakan sepertiga ekonomi dunia berada dalam resesi. Bahkan negara yang tidak mengalami resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang,” ujar Georgieva seperti dikutip The Guardian.
IMF sejauh ini terus memberikan peringatan dini terkait situasi ekonomi dunia. Oktober tahun lalu IMF sudah tahu situasi memburuk dan memangkas perkiraan pertumbuhan global untuk tahun ini. Yaitu dari 6 persen pada 2021, menjadi 3,2 persen pada 2022 dan 2,7 persen di tahun ini.
Perang di Ukraina masih menjadi salah satu penyumbang terbesar memburuknya perekonomian global. Selain itu, suku bunga tinggi yang dikeluarkan oleh bank sentral di berbagai negara guna menekan inflasi juga menjadi penyebab resesi.
Di Tiongkok, Covid-19 masih menjadi masalah serius. Georgieva menyebut negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu kemungkinan akan mengalami pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata global. Itu akan menjadi momen pertama kalinya dalam 40 tahun. Dengan kasus penularan yang meroket, besar kemungkinan dalam beberapa bulan kedepan situasi pandemi di negara yang dipimpin oleh Xi Jinping itu malah memburuk.
“Beberapa bulan ke depan akan sulit bagi Tiongkok. Dampaknya terhadap pertumbuhan Tiongkok akan negatif, terhadap kawasan akan negatif, dan terhadap pertumbuhan global akan negatif,” tegas Georgieva.
Indeks manajer pembelian (PMI) untuk Desember tahun lalu menunjukkan bahwa aktivitas pabrik Tiongkok menyusut selama tiga bulan berturut-turut. Penyusutannya berada pada tingkat tercepat selama hampir tiga tahun. Infeksi virus korona ikut menyebar di pabrik-pabrik Negeri Tirai Bambu.
Selama enam bulan terakhir, China Index Academy melaporkan bahwa harga rumah di 100 kota di Tiongkok juga turun.
Eropa di lain pihak saat ini mengalami krisis energi terimbas perang di Ukraina. Mereka masih harus memutar otak untuk menggantikan suplai gas alam dan minyak dari Rusia. Hal itu bukan perkara yang mudah.
Meski sama-sama melambat, namun Georgieva menegaskan bahwa AS termasuk paling tangguh. Meski melambat, Negeri Paman Sam dapat menghindari kontraksi langsung yang kemungkinan akan menimpa sepertiga ekonomi dunia. “AS dapat menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja di sana cukup kuat,” ujar Georgieva.
Jika pasar tenaga kerja sangat kuat, maka bank sentral AS yaitu The Fed kemungkinan harus mempertahankan suku bunga yang tinggi lebih lama guna menurunkan inflasi. Namun tingginya suku bunga juga membuat pinjaman menjadi lebih mahal. Hal itu membuat perusahaan mungkin memilih untuk tidak berinvestasi dalam mengembangkan bisnis mereka.
Desember lalu AS mencetak 200 ribu lapangan pekerjaan, mamun tingkat pengangguran masih tetap 3,7 persen. Penurunan ekonomi di AS juga berarti berkurangnya permintaan untuk produk yang dibuat di Tiongkok dan negara Asia lainnya termasuk Thailand dan Vietnam. Kesimpulannya, situasi di AS juga bakal berdampak pada negara-negara lain yang menjadi partner dagangnya.
Ekonom di Moody's Analytics, Sydney, Australia Katrina Ell juga memaparkan bahwa negara-negara di Eropa tidak akan lolos dari resesi. Sedangkan AS berada di ambang batas.
Selama beberapa dekade kawasan Asia-Pasifik bergantung pada Tiongkok sebagai mitra dagang utama dan dukungan ekonomi pada saat krisis. Sekarang, ekonomi Asia menghadapi dampak ekonomi yang berkepanjangan. Cara bagaimana Tiongkok menangani pandemi ikut mempengaruhi situasi global. (nad)
Tulis Komentar