JAKARTA, denai.id –
DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan sebagai
inisiatif legislatif. Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU itu.
Di sisi lain, penolakan juga sudah lama dilakukan organisasi profesi kesehatan.
Ansory Siregar, anggota Fraksi PKS DPR, mengatakan bahwa partainya menyoroti munculnya pasal 395 pada RUU Kesehatan yang berbunyi: dalam hal pelaksanaan kegiatan penanggulangan wabah mengakibatkan kerugian harta benda pada masyarakat, pemerintah pusat harus memberikan ganti rugi.
Menurut dia, hal itu merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap rakyat di masa sulit. Sebab, dalam kondisi sulit, sangat mungkin rakyat akan kesulitan mengakses kebutuhan dasar. Pemberian ganti rugi tidak akan menyelesaikan masalah rakyat saat itu.
”Frasa ganti rugi memungkinkan terjadinya penundaan atau pemenuhan kebutuhan yang tidak mencukupi," terangnya. PKS juga mempersoalkan penugasan pemerintah kepada BPJS yang merupakan badan hukum publik dan bersifat independen.
Penolakan juga tampak dalam aksi demonstrasi di depan gedung DPR kemarin. Demo dilakukan Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI). Mereka memandang RUU Kesehatan akan mengerdilkan BPJS.
Sekjen KRPI Saepul Tavip menyatakan, salah satu pasal
yang ada dalam RUU tersebut ingin merevisi UU BPJS Nomor 24 Tahun 2011. ”Direksi
BPJS Kesehatan maupun dewas (dewan pengawas) nantinya tidak langsung
bertanggung jawab ke presiden, tapi dibelokkan kepada menteri, yaitu menteri
ketenagakerjaan dan menteri kesehatan,” ungkapnya.
Menurut Tavip,
aturan itu berbahaya jika lolos. Sebab, menteri bisa mengintervensi BPJS
Kesehatan. Padahal, selama ini BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan merupakan
lembaga independen. ”Membuat BPJS penuh intervensi bisa membahayakan kualitas
pelayanan kepada rakyat,” ujar dia.
Sebelumnya Ketua
Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan,
ada banyak hal yang bisa dilakukan daripada membahas RUU Kesehatan. Menurut dia,
untuk perbaikan atau reformasi kesehatan, seharusnya cukup melakukan reformasi
di sisi pendidikan, pelayanan, dan sistem pembiayaan kesehatan. ”Apakah perlu
regulasi undang-undang?” tanya dia.
Pendidikan, pelayanan, dan sistem pembayaran kesehatan sudah ada undang-undangnya. Menurut Adib, undang-undang yang selama ini ada harus dievaluasi. Terutama yang belum terimplementasi dengan baik. (nad)
Tulis Komentar