JAKARTA, denai.id - Kementerian Perindustrian (Kemepnerin) mendorong penguatan industri semen di dalam negeri, di antaranya melalui upaya penerapan kebijakan moratorium atau pengaturan investasi baru. Langkah strategis ini dalam rangka memperhatikan kondisi kelebihan kapasitas (overcapacity) di industri semen nasional.
“Upaya tersebut dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku
industri semen di tanah air, sekaligus mendukung daya saing,” kata Plt Direktur
Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Ignatius
Warsito pada acara Kunjungan Kerja DPR RI di PT Semen Indonesia (Persero Tbk),
Gresik, Jawa Timur, Jumat (14/7).
Warsito menjelaskan, kondisi overcapacity industri
semen terjadi hampir di seluruh wilayah, kecuali Bali-Nusa Tenggara dan
Maluku-Papua. “Persentase overcapacity terbesar terjadi di Pulau
Jawa, yaitu lebih dari 55,4 persen,” ungkapnya.
Menurut Warsito, investasi baru pabrik semen sebaiknya tetap
diarahkan pada wilayah Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
“Pengaturan ini akan ditinjau kembali jika utilisasi rata-rata nasional telah
mencapai 85 persen,” tuturnya.
Adapun data produksi semen pada semester I tahun 2023
sebesar 29,3 juta ton, dengan kebutuhan semen nasional mencapai 28 juta ton.
Sedangkan, produksi semen sepanjang tahun 2022 lebih dari 64 juta ton, dengan
kebutuhan sekitar 63 juta ton.
“Saat ini, industri semen nasional terdiri dari 15
perusahaan semen terintegrasi yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua,
dengan total kapasitas terpasang sebesar 116 juta ton per tahun. Saat ini
industri semen kita masih mengalami overcapacity sebesar 51,8 juta
ton atau sebesar 45 persen,” paparnya.
Warsito menegaskan, salah satu upaya yang perlu dilakukan
oleh industri semen untuk mengatasi kondisi overcapacity saat ini
adalah melalui peningkatan ekspor. “Total ekspor semen dan clinker pada
semester I- 2023 mengalami peningkatan sebesar 11,57 persen dibanding periode
yang sama tahun sebelumnya. Hal ini seiring dengan meningkatnya permintaan di
pasar luar negeri,” sebutnya.
Di samping itu, Warsito mengemukakan, kenaikan harga
batubara internasional yang terjadi sejak Desember tahun 2020, memberikan efek
yang signifikan bagi industri semen. Tidak hanya mengakibatkan terjadinya
kenaikan biaya produksi, namun juga menghambat pasokan batubara di industri
semen.
“Batubara bagi industri semen merupakan bahan baku dan bahan
bakar utama yang memiliki persentase hingga 40 persen dalam struktur biaya
produksi,” imbuhnya. Guna mengatasi dan mengantisipasi kenaikan harga batubara
yang melonjak tinggi, pemerintah sedang menyusun regulasi terkait Badan Layanan
Umum (BLU) batubara.
Berikutnya, Warsito menyampaikan, semen merupakan barang yang memiliki ukuran
dan volume besar, sehingga membutuhkan moda transportasi dengan daya angkut
besar dan dimensi khusus. Mengingat, lebih dari 80 persen transportasi semen
adalah melalui darat (truk).
“Kebijakan Zero Over Dimension Over Load (ODOL)
membutuhkan penerapan yang tepat sasaran agar tidak menimbulkan dampak
meningkatnya biaya logistik yang harus ditanggung industri maupun konsumen,”
terangnya.
Industri semen telah menyampaikan tiga usulan sebelum
pemberlakuan kebijakan Zero ODOL secara penuh, yaitu penyesuaian sistem keur/kir terhadap
desain kendaraan dan kelas jalan, kebijakan penerapan multi-axle, serta
peningkatan kualitas daya dukung jalan (kelas jalan).
“Ketiga usulan tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu, untuk kelancaran pelaksanaan kebijakan Zero ODOL. Apabila belum terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan penyesuaian kembali waktu pemberlakuan Zero ODOL menjadi tahun 2025. Mengingat, Industri kehilangan momentum dua tahun lebih dalam persiapan pelaksanaan kebijakan Zero ODOL secara penuh pada tahun 2023 karena adanya pandemi Covid-19,” tandasnya. (nad)
Tulis Komentar